Banyuwangi – Fenomena ratusan ribu anak didik di Indonesia yang belum mampu membaca dan menulis merupakan ironi besar bagi negara yang telah lebih dari tujuh dekade merdeka. Di tengah gegap gempita kemajuan teknologi dan berbagai retorika tentang “generasi emas 2045,” kenyataan pahit ini menunjukkan kegagalan sistemik pada lapisan paling dasar pendidikan nasional. Hal ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bentuk pengabaian serius terhadap hak dasar anak bangsa: hak atas pendidikan yang bermutu.
Kegagalan ini tidak lahir dalam ruang hampa. Ia adalah konsekuensi dari lemahnya manajemen pendidikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Kurikulum yang terus berubah tanpa penguatan kapasitas guru, distribusi anggaran pendidikan yang tidak merata, serta pendekatan birokratis yang lebih mementingkan pelaporan administratif ketimbang capaian substantif, semua turut memperparah kondisi ini. Dalam konteks ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi patut dipertanyakan komitmennya terhadap pemenuhan literasi dasar siswa.
Di sisi lain, tanggung jawab moral dan profesional guru pun tidak dapat dikesampingkan. Meski banyak guru yang berjuang dengan keterbatasan, tidak sedikit pula yang telah kehilangan semangat mendidik karena tekanan administratif, ketimpangan insentif, atau sekadar karena sistem yang membuat mereka abai. Ketika guru hanya menjadi “pengisi jam pelajaran” tanpa visi mencerdaskan, maka proses pendidikan hanya menjadi rutinitas tanpa ruh.
Pemerintah daerah, sebagai pihak yang seharusnya paling dekat dengan realitas pendidikan di lapangan, juga kerap gagal menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan. Mereka lebih sibuk dengan proyek infrastruktur ketimbang memperjuangkan kualitas guru dan metode pembelajaran. Akibatnya, banyak sekolah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) hanya menjadi simbol kehadiran negara, tanpa fungsi esensial yang sesungguhnya.
Yang lebih menyedihkan adalah minimnya perhatian masyarakat luas terhadap problem ini. Ketika publik lebih sibuk dengan wacana politik atau isu-isu sensasional di media sosial, anak-anak di pelosok negeri terus tumbuh dalam kebodohan sistemik. Padahal, ini adalah bentuk kegagalan kolektif: dari negara, pendidik, hingga masyarakat yang membiarkan generasi penerus bangsa tak mampu mengeja namanya sendiri.
Sudah saatnya ada introspeksi nasional secara menyeluruh. Negara tidak boleh terus menutup mata dengan pencitraan statistik semu. Pendidikan dasar harus menjadi prioritas absolut, bukan hanya dalam wacana, melainkan dalam tindakan nyata. Apabila negara terus abai, maka ketidaktahuan yang hari ini ditanam, akan menjadi kehancuran masa depan yang tak terelakkan. Kegagalan mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan dosa sejarah yang kelak akan dituntut oleh generasi yang dirampas masa depannya.
RED. Herman, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & akademisi)