Blitar – Dugaan praktik prostitusi berkedok warung kopi kembali menyeruak di Kabupaten Blitar. Kali ini, aktivitas mencurigakan itu didapati di dua titik di Desa Penataran, wilayah hukum Polres Blitar Kota, yang ironisnya berada tak jauh dari kawasan wisata bersejarah Candi Penataran.
Warga setempat menilai keberadaan dua warung kopi itu sudah lama menjadi sumber keresahan. Meski telah berulang kali dilaporkan melalui pengaduan masyarakat (dumas), namun hingga kini tidak ada tindakan nyata dari pihak berwenang.
“Sudah sering kami laporkan, tapi tetap dibiarkan. Kalau terus begini, kami curiga ada pembiaran, bahkan mungkin ada yang membekingi,” ujar salah satu warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Pantauan tim media di lapangan memperlihatkan aktivitas kedua warung kopi tersebut berlangsung hingga larut malam bahkan dini hari, dengan tamu-tamu pria yang datang silih berganti. Suasana tertutup, penerangan remang, dan interaksi mencurigakan di sekitar lokasi semakin memperkuat dugaan praktik prostitusi terselubung di balik kedok warung kopi.
Situasi ini kian ironis, sebab Desa Penataran dikenal luas sebagai kawasan wisata sejarah dan budaya — ikon kebanggaan Kabupaten Blitar. Masyarakat menilai, keberadaan warung remang-remang itu tidak hanya mencoreng citra desa wisata, tetapi juga menodai nilai-nilai moral dan sosial masyarakat sekitar.
“Kalau ini dibiarkan, sama saja aparat menutup mata. Kami bisa kehilangan kepercayaan pada hukum,” tegas warga lainnya dengan nada kesal.
Sampai berita ini diterbitkan, Polres Blitar Kota belum memberikan pernyataan resmi terkait langkah penindakan maupun pengawasan di lokasi tersebut. Padahal, informasi dan keluhan dari warga telah beredar luas sejak beberapa bulan terakhir.
Sejumlah pihak menduga, adanya “pembiaran terstruktur” atau bahkan perlakuan istimewa dari oknum tertentu membuat aktivitas tersebut tetap berjalan mulus tanpa hambatan.
Masyarakat kini menuntut tindakan tegas dari aparat kepolisian, Satpol PP, serta instansi terkait untuk segera menutup dan menindak praktik ilegal tersebut. Jika tidak segera diambil langkah konkret, warga khawatir potensi konflik sosial dan aksi protes terbuka akan sulit dihindari.
“Kami tidak ingin main hakim sendiri. Tapi kalau aparat terus diam, bisa saja warga turun tangan. Ini sudah kelewatan,” tandas salah satu tokoh masyarakat Desa Penataran.
Selain merusak moralitas lingkungan, pembiaran terhadap praktik semacam ini juga dikhawatirkan menimbulkan efek domino — mulai dari meningkatnya kriminalitas, penyebaran penyakit menular, hingga kerusakan mental generasi muda.
Kini, sorotan publik mengarah pada komitmen Polres Blitar Kota dan Pemerintah Kabupaten Blitar. Apakah mereka akan bertindak tegas menutup tempat-tempat yang diduga menjadi sarang prostitusi terselubung itu, atau justru kembali membiarkan penyakit sosial ini tumbuh subur di balik aroma kopi malam Desa Penataran.
Red/TimRedaksi