banner 728x250

Masjid Pemkab Belum Rampung: Saatnya ASN Iuran?

  • Bagikan
banner 468x60

Banyuwangi – Pembangunan Masjid Pemerintah Kabupaten yang mangkrak ibarat ironi megah yang menampar wajah rasionalitas birokrasi kita. Sebuah bangunan suci yang seyogianya menjadi pusat spiritualitas dan representasi moral justru menjelma jadi monumen ketidakberesan tata kelola. Ketika proyek yang digadang-gadang menjadi simbol religiusitas daerah tersendat karena persoalan anggaran, pertanyaan mendasar pun menyeruak: apakah yang gagal adalah struktur anggarannya, atau justru mentalitas para pemegang amanah publik? Di tengah kemegahan rencana, yang tersisa hanyalah kerangka beton dan keheningan retorika.

Lebih getir lagi, ketika solusi yang ditawarkan adalah meminta iuran dari Aparatur Sipil Negara. Ironis, karena mereka adalah pelaksana kebijakan yang telah menyaksikan dari dekat bagaimana anggaran diputar, diolah, dan—sering kali—tidak dipertanggungjawabkan secara optimal. Kini, mereka justru diminta menambal lubang kegagalan manajemen proyek yang tidak mereka kendalikan. Dalam logika akal sehat publik, ini bukan sekadar tindakan tidak etis, tapi juga bentuk pengalihan tanggung jawab struktural yang disamarkan dengan balutan ‘gotong royong’—sebuah retorika lama yang kini terasa usang dan manipulatif.

Apakah pantas sebuah proyek yang jelas berada dalam ranah kewajiban negara, dan didanai dari pajak rakyat, malah dibebankan kepada ASN yang notabene juga rakyat? Di tengah sorotan terhadap transparansi dan akuntabilitas, wacana ini justru menegaskan betapa banalnya cara pandang elit birokrasi terhadap hak dan peran publik. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi refleksi dari pola pikir feodal yang melihat ASN sebagai sapi perah ketika negara gagal mengelola amanatnya sendiri. Pemerintah daerah seakan melupakan bahwa membangun masjid tak cukup dengan niat spiritual, tetapi harus ditopang integritas fiskal.

Narasi pembangunan masjid yang terhenti ini dengan sendirinya membuka luka lama soal prioritas pembangunan. Mengapa anggaran infrastruktur religius bisa tersendat, sementara berbagai proyek seremonial, perjalanan dinas, dan pengadaan tak esensial terus berjalan tanpa hambatan? Jawabannya barangkali tak ditemukan di neraca keuangan, tetapi di moralitas kepemimpinan. Dalam konteks ini, iuran ASN bukan hanya solusi dangkal, melainkan bentuk kegagalan etis dan administratif yang sepatutnya menjadi alarm keras bagi reformasi pengelolaan anggaran publik.

Kini, saat kepercayaan publik makin menipis terhadap institusi pemerintah, menggulirkan ide iuran untuk menyelesaikan proyek mangkrak adalah langkah yang tidak hanya mencederai akal sehat, tetapi juga mempermalukan logika birokrasi modern. Jika masjid yang suci dibangun di atas dasar ketidakadilan fiskal dan pemaksaan kontribusi, maka nilai-nilai yang hendak dirayakan di dalamnya sudah cacat sejak fondasi. Sudah waktunya bukan ASN yang dimintai iuran, tetapi para pengambil kebijakan yang dimintai tanggung jawab—baik moral maupun administratif—atas kegagalan yang mereka hasilkan.

RED. Herman, M.Pd, M.Th,CBC
(Aktivis & Akademisi)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!