banner 728x250

DEGREDASI BIROKRASI BANYUWANGI; CERMIN BURAM KETIDAKBECUSAN MANAJEMEN SDM.

  • Bagikan
banner 468x60

Banyuwangi – Degredasi birokrasi di Kabupaten Banyuwangi merupakan gejala akut dari ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengembangkan sumber daya manusianya secara strategis dan berkelanjutan. Birokrasi seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan dan pelayanan publik yang profesional. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa birokrasi justru menjadi beban struktural akibat tidak adanya sistem pengelolaan SDM yang berbasis meritokrasi dan akuntabilitas. Alih-alih mendorong kemajuan, birokrasi di Banyuwangi justru menjadi simbol ketertinggalan karena dihuni oleh aparatur yang terjebak dalam zona nyaman, tidak produktif, dan miskin inovasi.

Lingkungan kerja yang seharusnya kondusif justru menjadi sarang ketimpangan struktural. Budaya kerja yang kaku, hierarkis, dan penuh patronase politik membuat aparatur tidak tumbuh dalam iklim yang sehat. Ruang untuk belajar dan berkembang dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi yang lebih mengutamakan loyalitas daripada kompetensi. Praktik seperti ini bukan hanya membunuh potensi individu, tetapi juga merusak keseluruhan ekosistem birokrasi. Dalam konteks seperti ini, pemborosan anggaran bukan terjadi karena kurangnya sumber daya, tetapi karena SDM yang tidak diberdayakan secara maksimal dalam kerangka tata kelola yang bermutu.

Lebih jauh, sistem penilaian kinerja di Banyuwangi kerap kali bersifat semu dan manipulatif. Evaluasi tidak dilakukan secara objektif, melainkan berdasarkan kedekatan personal atau relasi kuasa. Ketidakadilan ini menciptakan demotivasi yang akut di kalangan ASN, karena usaha dan hasil kerja tidak dihargai secara proporsional. Padahal, sistem penilaian yang adil, terukur, dan transparan merupakan fondasi dari pengembangan SDM yang berkualitas. Tanpa mekanisme reward and punishment yang sehat, birokrasi hanya akan memelihara stagnasi dan menyuburkan budaya asal bapak senang.

Kesempatan pengembangan karier pun tidak didasarkan pada prestasi atau kompetensi, melainkan pada faktor subjektifitas dan permainan politik birokratik. Akibatnya, banyak ASN potensial yang merasa teralienasi dari sistem, memilih bersikap pasif, atau bahkan meninggalkan institusi. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat reformasi birokrasi yang sejak lama digaungkan namun tidak pernah benar-benar dijalankan. Banyuwangi bukan kekurangan talenta, tetapi kekurangan sistem yang mampu mengidentifikasi, merawat, dan mendorong talenta itu untuk tumbuh menjadi pemimpin masa depan.

Oleh karena itu, degredasi birokrasi di Banyuwangi adalah cermin buram dari kegagalan struktural yang membutuhkan reformasi total. Pemerintah daerah harus menghentikan praktik pseudo-reformis yang hanya bersifat kosmetik dan mulai melakukan restrukturisasi serius terhadap sistem manajemen SDM. Transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi harus menjadi roh dari setiap kebijakan kepegawaian. Jika tidak, maka birokrasi Banyuwangi hanya akan menjadi menara gading penuh retorika, tanpa substansi dan dampak nyata bagi masyarakat yang dilayaninya.

Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC
(Akademisi & Aktivis)

Red/TimRedaksi

 

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!