Banyuwangi – Di Banyuwangi hari ini, kita menyaksikan ironi telanjang: para pemimpin instansi pemerintah begitu pongah menahbiskan diri mereka sebagai pemegang kendali mutlak. Mereka berjalan dengan dada membusung, merasa menjadi bos besar yang “untouchable”, kebal dari kritik dan teguran. Mentalitas feodal ini menempel erat di kursi-kursi empuk birokrasi, menumbuhkan ilusi superioritas yang jauh dari cita-cita demokrasi yang berkeadaban.
Padahal sejatinya, siapa pemilik sah kota Banyuwangi ini? Bukan para pejabat, bukan para kepala dinas, bukan pula bupati beserta kroninya. Banyuwangi adalah milik rakyat, mereka yang setiap hari berpeluh di pasar, di sawah, di jalanan, yang membayar pajak demi berjalannya roda pemerintahan. Ironisnya, pejabat publik yang semestinya menjadi pelayan, kini berubah rupa bak tuan tanah yang menindas, menjatuhkan keputusan semena-mena seakan rakyat hanya kerumunan penonton tak bersuara.
Mereka lupa diri seperti kacang lupa akan kulitnya. Mandat yang mereka emban berasal dari suara rakyat, diperoleh dari kontrak sosial bernama pemilu dan hukum. Namun kekuasaan yang mestinya dijalankan dengan rendah hati itu malah disalahgunakan. Kebijakan sering lahir tanpa empati, tanpa diskusi, tanpa menengok denyut nadi rakyat kecil. Yang terdengar justru gemuruh arogansi, ditopang protokol mewah dan pengawalan berlebihan, seolah rakyat yang ingin bertanya pun wajib menunduk.
Lebih memprihatinkan, banyak dari mereka memposisikan kritik sebagai ancaman. Lisan rakyat yang menuntut keadilan dicap pembangkang, yang menyuarakan keluhan dicurigai sebagai pengganggu stabilitas. Padahal tugas pejabat publik adalah membuka telinga selebar-lebarnya, mengabdi dengan penuh tanggung jawab, bukan membangun tembok tinggi penuh ketakutan. Ketika pejabat lebih sibuk menegaskan statusnya sebagai “bos”, maka nilai-nilai demokrasi dan kedaulatan rakyat diinjak-injak di atas aspal yang sama-sama dibangun dari keringat rakyat.
Sudah saatnya para pejabat di Banyuwangi bercermin. Mereka bukan penguasa, bukan pemilik kota ini, melainkan hanya pelayan yang mendapat mandat sementara. Jika tidak sanggup melayani dengan hati yang bersih, lebih baik menyingkir sebelum sejarah mencatat mereka sebagai generasi yang menodai kepercayaan publik. Karena cepat atau lambat, rakyat akan menagih, dan suara mereka adalah panglima tertinggi yang tak dapat dibungkam oleh kesombongan sekuat apa pun.
Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(Akademisi & Aktivis)
Red/TimRedaksi