Banyuwangi – Fenomena antrian panjang di Mall Pelayanan Publik (MPP) Banyuwangi menjadi ironi yang mencolok di tengah gencarnya wacana digitalisasi layanan publik. Pemerintah daerah sering kali membanggakan transformasi digital sebagai solusi efisiensi dan akuntabilitas pelayanan, namun realitas di lapangan memperlihatkan kegagalan mendasar dalam implementasi. Jika digitalisasi dijalankan dengan benar, maka keberadaan antrian fisik dalam skala besar seharusnya menjadi masa lalu, bukan pemandangan rutin.
Gagal paham terhadap esensi digitalisasi terlihat dari cara kebijakan ini dioperasionalisasikan. Bukannya mempermudah, banyak sistem layanan justru menambah kompleksitas baru, seperti aplikasi yang tidak user-friendly, informasi yang minim, dan integrasi data antarlembaga yang belum sinkron. Digitalisasi seharusnya bukan sekadar memindahkan proses manual ke platform digital, melainkan merancang ulang proses agar lebih adaptif terhadap kebutuhan masyarakat, terutama kelompok rentan digital seperti lansia dan masyarakat pedesaan.
Kondisi ini menunjukkan bahwa digitalisasi di MPP Banyuwangi tidak berpijak pada analisis kebutuhan dan kapasitas masyarakat. Pemerintah tampak tergesa-gesa mengejar citra modern dan inovatif, namun mengabaikan prinsip partisipasi publik dan desain inklusif. Hal ini memperkuat anggapan bahwa digitalisasi yang dijalankan tidak berangkat dari pendekatan problem solving, melainkan simbolisme birokratik belaka sebuah kesalahan strategis dalam tata kelola pelayanan publik.
Lebih dari sekadar persoalan teknis, ini adalah krisis kepercayaan terhadap janji modernisasi pelayanan. Masyarakat dipaksa beradaptasi dengan sistem yang belum matang, sementara aparat belum sepenuhnya siap mendampingi transisi digital. Akibatnya, antrian panjang menjadi simbol kegagalan sistemik, bukan hanya kelalaian operasional. Ini bukan sekadar kegagalan teknologi, tetapi kegagalan memahami urgensi humanisasi dalam pelayanan publik.
Oleh karena itu, kritik “Digitalisasi Gagal Paham!” patut disuarakan sebagai refleksi mendalam atas kebijakan yang terburu-buru namun tidak membumi. Pemerintah daerah harus berhenti mengukur keberhasilan dari jumlah aplikasi atau platform digital yang dibuat, dan mulai fokus pada efektivitas nyata di lapangan. Digitalisasi yang sejati bukanlah tentang teknologi semata, tetapi tentang keadilan akses, efisiensi yang terasa, dan pelayanan yang memanusiakan warga.
RED. Herman, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & Akademisi)