BERAU – KALIMANTAN TIMUR || Dugaan pelanggaran serius terhadap regulasi lingkungan kembali mencuat di Kabupaten Berau. PT Berau Coal, salah satu perusahaan tambang batu bara terbesar di wilayah ini, diduga hanya menggunakan satu dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk seluruh areal konsesi tambangnya yang tersebar di berbagai kecamatan dan kampung.
Informasi ini mencuat setelah masyarakat mulai curiga akan aktivitas tambang yang menjalar ke sejumlah lahan pertanian dan kawasan permukiman tanpa ada sosialisasi atau pelibatan masyarakat sebagaimana mestinya. Padahal, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen AMDAL secara spesifik dan terpisah untuk setiap wilayah operasional.
Upaya konfirmasi yang dilakukan oleh sejumlah wartawan ke Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Kabupaten Berau tidak membuahkan hasil. Pejabat yang berkepentingan tidak berada di tempat, dan saat dihubungi melalui saluran komunikasi pun tidak merespons. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya indikasi pembiaran atau bahkan penutupan informasi terhadap publik.
Mantan Kepala Kampung Tumbit Melayu, Maspri, menyampaikan bahwa perusahaan semestinya menyusun dokumen AMDAL dengan melibatkan tokoh adat dan perwakilan masyarakat terdampak. “Ini bukan hanya formalitas. AMDAL harus menjadi wadah untuk menyerap aspirasi masyarakat, mengidentifikasi potensi kerusakan lingkungan, dan memperhitungkan kerugian baik secara materil maupun immateril,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan oleh Kepala Kampung Tumbit Melayu saat ini, Syamsudin. Ia menuturkan bahwa aktivitas tambang yang tiba-tiba muncul di lahan kelompok tani warga telah mengejutkan masyarakat. “Kami tidak pernah diajak bicara. Tahu-tahu alat berat masuk dan lahan kami sudah berubah menjadi lokasi tambang,” katanya.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dengan jelas mengatur bahwa setiap pemrakarsa wajib menyusun dokumen AMDAL dengan tahapan yang mencakup pelibatan masyarakat, penyusunan KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL secara menyeluruh sesuai dengan lokasi dan ruang lingkup kegiatan.
Warga dari kampung lain yang berada dalam lingkar tambang juga menyampaikan keluhan serupa. Mereka mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan dokumen AMDAL dan tidak diberikan kesempatan menyuarakan keberatan mereka. “Lahan kami adalah sumber kehidupan. Tidak ada ganti rugi, tidak ada pemberitahuan. Ini bentuk penindasan,” ungkap seorang warga dari kampung tetangga yang tidak ingin disebutkan namanya.
Ketika dikonfirmasi terkait isu tersebut, Corporate Communication Superintendent PT Berau Coal, Rudini, memilih untuk tidak memberikan jawaban. Sikap diam perusahaan justru menambah panjang daftar kecurigaan masyarakat terhadap transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
Menurut ahli lingkungan dari Universitas Mulawarman, pelanggaran terhadap ketentuan AMDAL bukanlah pelanggaran ringan. “Jika terbukti hanya menggunakan satu AMDAL untuk seluruh konsesi, maka ini adalah pelanggaran Pasal 36 UU No. 32/2009, dan bisa dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin lingkungan,” jelasnya.
Lebih lanjut, kegiatan pertambangan tanpa konsultasi publik dan pembebasan lahan yang sah dapat dianggap melanggar hak atas lingkungan yang bersih dan sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) dan (2) UU No. 32/2009.
Masyarakat kini mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk segera melakukan audit terhadap dokumen AMDAL milik PT Berau Coal serta menghentikan sementara aktivitas tambang hingga kejelasan izin dan proses AMDAL diperoleh secara transparan.
Kasus ini menjadi preseden penting tentang bagaimana pengawasan terhadap perusahaan tambang harus ditingkatkan. Tanpa kontrol dan penegakan hukum yang tegas, masyarakat lokal dan lingkungan akan terus menjadi korban dari praktik tambang yang mengabaikan aturan.