Banyuwangi – Fenomena perundungan (bullying) yang terjadi di lingkungan pesantren merupakan sebuah ironi yang menyakitkan dalam dunia pendidikan keagamaan. Pesantren seharusnya menjadi ruang suci pembinaan karakter, pembelajaran nilai-nilai spiritual, dan pelindung bagi para santri yang tengah menempuh jalan menuntut ilmu. Ketika lembaga yang menjunjung tinggi nilai kasih sayang dan ukhuwah justru membiarkan praktik kekerasan psikis maupun fisik berlangsung, maka integritas pesantren sebagai institusi moral patut dipertanyakan secara serius.
Tidak hanya berhenti pada tindakan perundungan, ancaman pemulangan santri akibat keterlambatan pembayaran uang pembinaan mencerminkan pendekatan pendidikan yang transaksional dan tidak humanistik. Pendidikan, terlebih yang berbasis agama, seharusnya tidak mengedepankan aspek finansial di atas hak-hak dasar peserta didik untuk belajar. Ketika lembaga pendidikan menjadikan kemampuan ekonomi sebagai tolok ukur keberlangsungan pendidikan seorang anak, maka pesantren telah gagal memahami substansi ajaran Islam yang menjunjung tinggi keadilan sosial dan perlindungan terhadap kaum lemah.
Lebih mengkhawatirkan, pembiaran terhadap kekerasan dan intimidasi seperti ini menunjukkan adanya kelalaian struktural dalam tata kelola lembaga. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan institusional, di mana sistem dan kebijakan yang seharusnya melindungi malah melanggengkan praktik ketidakadilan. Pesantren yang mengabaikan laporan perundungan atau bahkan menormalisasi tindakan tersebut telah kehilangan legitimasi moral sebagai tempat penanaman nilai-nilai kebaikan.
Oleh karena itu, negara melalui Kementerian Agama, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan aparat penegak hukum harus mengambil langkah konkret dan tegas terhadap pesantren yang terbukti lalai atau bahkan mendukung praktik perundungan dan kekerasan simbolik terhadap santri. Tidak cukup hanya dengan teguran administratif; perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum pengasuhan, manajemen kelembagaan, hingga sanksi pencabutan izin operasional jika pelanggaran terbukti sistemik dan berulang.
Melindungi santri adalah tanggung jawab moral dan legal seluruh komponen bangsa. Jika pesantren gagal menjalankan fungsi protektifnya, maka publik berhak untuk bersuara dan mendesak reformasi mendalam terhadap sistem pendidikan pesantren. Kita tidak boleh membiarkan institusi keagamaan justru menjadi tempat subur bagi praktik kekerasan, diskriminasi ekonomi, dan pelanggaran hak asasi anak. Tindakan tegas adalah satu-satunya jalan untuk memulihkan kembali martabat pesantren sebagai lembaga pendidikan yang beradab.
RED. Herman, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & Akademisi)