Banyuwangi – Rencana Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk menarik pinjaman daerah sebesar 490 miliar rupiah sebagaimana tercantum dalam dokumen Perubahan Anggaran Sementara (PAK) 2025 merupakan langkah kebijakan fiskal yang sarat problematika dari segi etika publik, keadilan sosial, dan keberlanjutan pembangunan. Secara normatif, pinjaman daerah memang dimungkinkan dalam kerangka regulasi nasional, seperti UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 56 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah. Namun, hakikat dari pengambilan kebijakan publik tidak hanya soal kepatuhan administratif, melainkan juga menyangkut sensitivitas terhadap situasi sosial ekonomi masyarakat, akuntabilitas fiskal, dan tanggung jawab intergenerasional. Dalam konteks Banyuwangi, di mana mayoritas masyarakat masih berjuang pulih dari dampak krisis ekonomi pascapandemi dan stagnasi sektor UMKM, penarikan utang dalam jumlah besar sangat tidak tepat waktu dan cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian anggaran.
Kebijakan pinjaman sebesar itu berisiko menciptakan tekanan fiskal jangka panjang, khususnya dalam bentuk beban pembayaran cicilan pokok dan bunga yang harus ditanggung oleh APBD tahun-tahun berikutnya. Padahal, alokasi belanja daerah seharusnya diarahkan pada sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, ketahanan pangan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketika ruang fiskal tersedot untuk membayar kewajiban utang, maka pengurangan belanja publik menjadi keniscayaan. Hal ini secara langsung akan berdampak negatif terhadap kualitas pelayanan publik dan memperbesar kesenjangan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, secara akademik dapat dikatakan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan asas keadilan distributif dalam tata kelola keuangan daerah yang ideal.
Lebih dari itu, rencana utang ini juga menimbulkan persoalan legitimasi demokratis. Minimnya partisipasi publik dalam proses perencanaan anggaran dan lemahnya transparansi dalam menyampaikan urgensi dari penggunaan dana pinjaman menunjukkan gejala defisit demokrasi di tingkat lokal. Protes terbuka dari lembaga seperti PUSKAPTIS mengindikasikan bahwa aspirasi rakyat belum sepenuhnya diakomodasi, dan keputusan anggaran cenderung elitis serta top-down. Jika tidak disertai kajian kelayakan ekonomi yang komprehensif dan konsultasi publik yang memadai, maka kebijakan utang ini dapat dianggap sebagai bentuk mal-administrasi dalam tata kelola pemerintahan daerah yang sehat.
Secara ekonomi-politik, kebijakan utang semacam ini juga dapat memperkuat ketergantungan fiskal daerah terhadap pihak ketiga (lembaga keuangan, bank, atau bahkan pemerintah pusat), yang pada akhirnya menurunkan kapasitas otonomi fiskal daerah. Dalam jangka panjang, hal ini akan melemahkan daya saing daerah, membatasi inovasi kebijakan, dan menciptakan mentalitas birokrasi yang tidak produktif. Pengalaman dari berbagai daerah di Indonesia yang terjerat dalam jebakan utang daerah (debt trap) menunjukkan bahwa utang yang dikelola tanpa perencanaan strategis dan tanpa proyeksi manfaat ekonomi yang jelas hanya akan menjadi beban struktural, bukan solusi pembangunan.
Dengan demikian, secara kritis dapat disimpulkan bahwa regulasi utang 490 miliar rupiah yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi bukanlah langkah kebijakan yang bijaksana. Ia mencerminkan disorientasi dalam pengelolaan fiskal daerah serta abai terhadap kondisi riil sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan ini berpotensi menyengsarakan rakyat dalam jangka panjang karena mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat demi proyek-proyek yang belum tentu prioritas. Dalam kerangka etika kebijakan publik dan prinsip ekonomi berkeadilan, kebijakan ini patut ditolak dan direvisi melalui mekanisme partisipatif dan akuntabel.
Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC
(Aktivis & Akademisi)
Red/TimRedaksi