Tanjung Redeb, 10 April 2025 — Insiden tak mengenakkan menimpa sejumlah wartawan dari berbagai media ketika hendak meliput agenda pemeriksaan setempat (PS) dalam sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama Mandiri (POKTAN UBM) dengan PT. Berau Coal. Sidang yang dipimpin langsung oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas II Tanjung Redeb itu digelar terbuka untuk umum, namun para jurnalis justru dihalang-halangi oleh oknum yang mengaku sebagai legal perusahaan tambang tersebut.
Insiden terjadi saat para jurnalis bersiap melakukan peliputan sesuai dengan tugas jurnalistik mereka. Oknum yang diketahui berinisial AHR, mengaku sebagai Legal PT. Berau Coal, tiba-tiba melarang keras wartawan untuk meliput jalannya agenda PS di lokasi. Padahal, menurut kesaksian, Majelis Hakim sudah memberikan izin kepada awak media dengan catatan jumlahnya dibatasi hanya dua orang.
Akibat tindakan AHR yang dinilai arogan dan represif, nyaris terjadi keributan di lokasi. Awak media merasa hak mereka sebagai jurnalis telah dilanggar. Merespons kejadian tersebut, pada tanggal 16 April 2025, koalisi wartawan dari berbagai media televisi dan elektronik resmi melaporkan AHR ke Polres Berau, Kalimantan Timur atas dugaan pelanggaran terhadap UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Badrul Ain Sanusi Al Afif, S.H., M.H., seorang aktivis 98 dan praktisi hukum, mengecam tindakan AHR tersebut. Ia menegaskan bahwa larangan meliput sidang terbuka merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers.
“Hak jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sidang PS tersebut bersifat terbuka, sehingga tidak ada alasan hukum yang membenarkan pelarangan peliputan. Bahkan, tindakan tersebut juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 28A sampai 28J UUD 1945,” tegasnya.
Senada dengan itu, Yudhi Tubagus Naharuddin dari Badan Penyelenggara Advokasi Independen (BPAI) sekaligus kuasa hukum POKTAN UBM, turut menyayangkan sikap arogan oknum PT. Berau Coal.
“Saya berada di lokasi saat itu. Saya mendengar sendiri Majelis Hakim mengizinkan liputan, meski dibatasi. Namun AHR tetap melarang dengan cara kasar, bahkan nyaris memicu keributan. Sangat disayangkan perusahaan sebesar PT. Berau Coal mempekerjakan orang yang tidak paham etika dan hukum seperti itu,” ujar Yudhi dengan nada tinggi.
Yudhi menambahkan bahwa perbuatan AHR berpotensi dijerat Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik dapat dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
“Kami berharap aparat Polres Berau dapat menindaklanjuti laporan ini secara profesional. Ini bukan hanya soal profesi wartawan, tapi juga menyangkut kemerdekaan pers sebagai bagian dari kedaulatan rakyat yang harus dijaga,” tutupnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT. Berau Coal belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden tersebut.
( Red – Tri Gunawan )