Banyuwangi – Kasus yang mencuat baru-baru ini terkait dugaan pesta narkoba yang melibatkan oknum camat Siliragung semestinya menjadi alarm keras bagi pemerintahan Kabupaten Banyuwangi. Peristiwa ini bukan sekadar pelanggaran hukum oleh individu, tetapi mencoreng integritas birokrasi publik yang seharusnya bersih dan berwibawa. Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), perilaku menyimpang pejabat publik seperti ini merupakan bentuk deviasi etika sekaligus pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat yang telah menyerahkan mandat pelayanan kepadanya. Oleh karena itu, pemerintah daerah wajib menunjukkan keseriusan melalui penegakan disiplin aparatur yang tegas dan transparan.
Tindakan cepat (fast respon) menjadi mutlak diperlukan agar citra pemerintahan tidak semakin terpuruk. Penanganan persoalan ini tidak cukup hanya dengan klarifikasi lisan atau pembelaan normatif, melainkan harus dibarengi langkah konkret berupa sinergi lintas lembaga. Pemerintah daerah melalui Inspektorat serta Badan Kepegawaian harus segera berkoordinasi dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Banyuwangi, SATNARKOBA Polresta Banyuwangi, Dinas Kesehatan, serta Dinas Sosial untuk melakukan pemeriksaan komprehensif, termasuk tes urine bagi yang bersangkutan. Hal ini penting tidak hanya untuk memastikan status hukum oknum camat tersebut, tetapi juga sebagai instrumen preventif agar praktik serupa tidak menjalar pada jajaran birokrasi lainnya.
Apabila tindakan serius tidak segera diambil, masyarakat akan memiliki dasar kuat untuk menilai bahwa supremasi hukum di Banyuwangi tidak berjalan proporsional. Fenomena “tajam ke bawah tumpul ke atas” dalam penegakan hukum bisa semakin membudaya, memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat yang justru merupakan pemilik sah kedaulatan. Dalam kerangka teori legitimacy (legitimasi), pemerintahan yang gagal menegakkan hukum terhadap aparatur sendiri berpotensi kehilangan otoritas moral sekaligus legal untuk menuntut ketaatan publik terhadap regulasi yang dibuatnya.
Lebih jauh, absennya penindakan yang tegas membuka ruang spekulasi liar di tengah masyarakat. Bukan tidak mungkin muncul prasangka bahwa kantor-kantor pemerintahan di Banyuwangi selama ini hanyalah tampak steril dari luar, padahal di dalamnya menjadi tempat aman bagi praktik peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba. Dugaan semacam ini akan terus berkembang menjadi distrust publik yang pada gilirannya melemahkan fondasi sosial kemasyarakatan, karena masyarakat kehilangan figur teladan dari para penyelenggara pemerintahan.
Dengan demikian, langkah cepat, transparan, dan tegas terhadap kasus ini bukan hanya soal penegakan disiplin aparatur, melainkan juga upaya menjaga marwah pemerintahan daerah sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah harus menempatkan hukum secara egaliter, tanpa pandang bulu jabatan. Dengan begitu, kepercayaan publik dapat dipulihkan, supremasi hukum terjaga, dan Banyuwangi terhindar dari stigma sebagai birokrasi permisif terhadap narkotika. Inilah momentum bagi pemerintah daerah untuk membuktikan komitmennya pada prinsip clean and accountable government, yang menjadi syarat mutlak bagi terciptanya tatanan masyarakat yang sehat, adil, dan bermartabat.
Red.