banner 728x250

KADINSOS BANYUWANGI MANGKIR DI HARI PERANG NARKOBA; NARKOBA MENGGILA, PEJABAT NYABU, BANYUWANGI DALAM LUKA SOSIAL

  • Bagikan
banner 468x60

Banyuwangi – Fenomena HANI 2025 di Banyuwangi yang seharusnya menjadi momentum kolektif untuk memperkuat tekad memerangi narkoba sebagai musuh bersama, justru ternoda oleh dua fakta memilukan. Pertama, mencuatnya pemberitaan menggegerkan tentang oknum camat yang tertangkap basah menikmati sabu, yang tidak hanya melukai moral birokrasi, tetapi juga menampar kesadaran publik bahwa problematika narkoba telah merangsek hingga relung kekuasaan lokal. Kedua, sikap Kepala Dinas Sosial Banyuwangi yang memilih mangkir dalam agenda bersejarah ini, bahkan hanya mengutus pegawai non-struktural, memperlihatkan ketidakpekaan institusional terhadap urgensi perang melawan narkotika. Ini jelas ironi, mengingat narkoba telah menjadi momok yang merusak sendi-sendi sosial sekaligus menggerus masa depan generasi bangsa.

Padahal jika menilik secara normatif, tugas pokok dan fungsi Dinas Sosial telah diamanatkan secara eksplisit melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta diperinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016. Regulasi ini menegaskan bahwa Dinas Sosial bertanggung jawab dalam perlindungan dan jaminan sosial, rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial, hingga penanganan fakir miskin. Rehabilitasi sosial bagi pecandu narkoba bahkan menjadi poin sentral agar mereka tidak kembali terjerumus ke tindakan kriminal hanya demi menopang adiksi. Sayangnya, tupoksi yang demikian fundamental ini justru terkesan diabaikan, ditandai oleh absennya Kadinsos dalam forum strategis HANI 2025 yang notabene mengusung agenda penanggulangan narkoba.

Lebih jauh, ketidakhadiran kepala dinas pada peringatan yang menyatukan komitmen lintas sektor melawan narkoba dapat ditafsirkan sebagai bentuk delegitimasi nilai-nilai perlindungan sosial itu sendiri. Bagaimana publik dapat mempercayai keseriusan pemerintah daerah menangani bahaya narkoba jika institusi teknis yang memegang mandat rehabilitasi justru menampilkan sikap tak peduli? Dalam perspektif sosiologis, ini bukan sekadar soal prosedural kehadiran pejabat, tetapi soal simbolik: negara yang semestinya hadir memberi rasa aman dan ruang pemulihan justru menghilang dalam momen paling krusial.

Jika fenomena ini dibiarkan, maka yang terjadi adalah pembiaran struktural yang mengarah pada pembusukan tata kelola sosial. Tidak hanya memberi ruang bagi penyalahgunaan narkoba untuk terus berkembang tanpa resistensi, tetapi juga melemahkan jejaring intervensi sosial yang seharusnya menjangkau para pecandu melalui program rehabilitasi terpadu. Dalam situasi demikian, masyarakat rentan menjadi korban berlapis terjerumus narkoba sekaligus terlantar oleh negara yang alpa menjalankan tugas konstitusionalnya. Inilah cikal bakal kegagalan negara dalam memastikan tertib sosial dan perlindungan bagi warganya yang paling rentan.

Oleh sebab itu, sudah saatnya dilakukan evaluasi kritis dan audit publik terhadap kinerja Kepala Dinas Sosial Banyuwangi, khususnya dalam konteks penanganan dampak sosial narkoba. Peringatan HANI 2025 seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan yang sarat retorika, melainkan panggilan moral dan yuridis untuk memperkuat sistem rehabilitasi sosial, memulihkan marwah birokrasi yang tercoreng oknum pemakai narkoba, sekaligus mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung masyarakat dari kehancuran sosial akibat zat terlarang ini. Mangkirnya Kadinsos pada momen strategis hanyalah secuil gejala dari problem yang lebih dalam: lemahnya komitmen birokrasi dalam memerangi narkoba, yang jika tak segera ditangani, akan terus menjarah generasi dan mengikis fondasi peradaban kita.

Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(Akademisi & Aktivis)

Red/TimRedaksi

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!