MAJENE- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto ingatkan Kepala Daerah dan DPRD untuk tidak melakukan ptaktik – praktik penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan pribadi, Minggu 20 April 2025.
Hal itu, disampaikan Setyo Budiyanto melalui siaran pers miliknya di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terletak di Jln. Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Setyo Budiyanto tegaskan, saya juga ingin mengingatkan seluruh Kepala Daerah dan DPRD untuk tidak melakukan praktik – praktik penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan pribadi berdampak pada aspek perbuatan hukum.
“Kami berharap kepada seluruh Kepala Daerah dan DPRD untuk tetap menjaga integritasnya dan tidak menggunakan kepentingan dengan melakukan perubahan – perubahan APBD memasukkan pokir akhirnya berdampak pada kredibilitas pemerintahan itu sendiri,” ungkap Ketua KPK RI.
Meski kemudian, sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 2 Tahun 2024 tentang pencegahan korupsi terkait proses perencanaan dan penganggaran APBD tahun anggaran 2025 dan APBD perubahan tahun 2024.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara serius memantau seluruh proses praktik penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan dilakukan para Kepala Daerah dan DPRD.
Melansir melalui detikcom, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 6 orang tersangka usai melakukan OTT di Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. KPK mengungkap anggota DPRD di OKU yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap meminta jatah pokir Rp 40 miliar dari proyek di Dinas PUPR.
Dilansir detikNews, permintaan jatah itu dilakukan saat adanya pembahasan RAPBD OKU pada Januari 2025. Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan perwakilan DPRD menemui pihak Pemkab OKU agar RAPBD itu dapat disahkan. Dalam pertemuan itulah perwakilan DPRD diduga meminta jatah pokir.
“Pada pembahasan tersebut, perwakilan dari DPRD meminta jatah pokir, seperti yang diduga sudah dilakukan. Kemudian, disepakati bahwa jatah pokir tersebut diubah menjadi proyek fisik di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan sebesar Rp 40 miliar,” kata dalam konferensi pers di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (16/3/2025).
Setyo menerangkan proyek untuk pokir ketua dan wakil ketua DPRD senilai Rp 5 miliar. Sementara nilai untuk anggota DPRD Rp 1 miliar.
“Jadi ini adalah perubahan, untuk bisa mengubah RAPBD yang ada di Kabupaten OKU,” ujar Setyo.
Namun nilai pokir turun menjadi Rp 35 miliar karena ada keterbatasan anggaran. Sementara fee bagi anggota DPRD tetap 20 persen dari proyek yang ada di Dinas PUPR.
Selanjutnya, APBD tahun anggaran 2025 pun akhirnya disetujui dengan anggaran Dinas PUPR naik menjadi Rp 96 miliar dari Rp 48 miliar. Kadis PUPR OKU Norpiansyah (NOP) pun bergerak menawarkan sembilan proyek kepada pihak swasta dengan commitment fee 20 persen kepada anggota DPRD dan 2 persen kepada Dinas PUPR.
“Saat itu, Saudara NOP yang merupakan Pejabat Kepala Dinas PUPR menawarkan 9 proyek tersebut kepada Saudara MFZ (M Fauzi) dan Saudara ASS (Ahmad Sugeng Santoso) dengan commitment fee sebesar 22 persen, yaitu 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD,” ucapnya.
Setyo menyebut Nopriansyah mengondisikan pemenangan proyek itu. Total ada sembilan proyek yang telah diatur oleh Nopriansyah dengan modus pinjam bendera.
Menjelang Idul Fitri, pihak DPRD yang diwakili oleh Ferlan, Fahrudin, dan Umi menagih jatah proyek tersebut ke Nopriansyah. Pada 13 Maret 2025, Fauzi menyerahkan uang kepada Nopriansyah sebesar Rp 2,2 miliar yang merupakan bagian fee proyek.
Selain itu, Setyo mengatakan Nopriansyah telah menerima uang Rp 1,5 miliar dari Ahmad lebih dulu. KPK pun menangkap Nopriansyah dkk pada 15 Maret 2025.
Total, ada enam orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini yakni:
1. Ferlan Juliansyah (FJ) selaku anggota Komisi III DPRD OKU
2. M Fahrudin (MFR) selaku Ketua Komisi III DPRD OKU
3. Umi Hartati (UH) selaku Ketua Komisi II DPRD OKU
4. Nopriansyah (NOP) selaku Kepala Dinas PUPR OKU
5. M Fauzi alias Pablo (MFZ) selaku swasta
6. Ahmad Sugeng Santoso (ASS) selaku swasta.
Akibat perbuatannya, Ferlan, Fahrudin, Umi, dan Nopriansyah dijerat Pasal 12 a atau 12 b dan 12 f dan 12 B UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 12 a dan b itu mengatur hukuman terkait suap, Pasal 12 f mengatur soal pemotongan anggaran dan Pasal 12 B tentang gratifikasi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Sementara itu, Fauzi dan Ahmad dijerat Pasal 5 ayat 1 a atau b UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal itu mengatur soal hukuman bagi penyuap dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun penjara