banner 728x250

“NO VIRAL NO JUSTICE”, PERUBAHAN POLITIK DAN HUKUM DALAM PERGANTIAN RAZIM

  • Bagikan
banner 468x60

Banyuwangi matadunia.co.id Masyarakat menilai nahwa hukum saat ini, masih jauh dalam menemukan “substansi hukum” dimana azas kepastian, kemanfaatan dan keadilan dapat dirasakan hadir ditengah masyarakat. Problematika penegakan hukum di Indonesia, juga masih tergantung pada perubahan “rezim kepemimpinan dan politik” siapa yang memegang kendali kekuasaan. Nuansa iklim penegakan hukum, akan dipengaruhi oleh “Kompetensi dan Integritas” sang pemimpin. Hal yang sama juga pada aspek penyelenggaraan pelayanan publik.

Kebuntuan atas penyelenggaraan penyelesaian hukum dan kehidupan konflik sosial, kerap ditemui banyak masalah dan bukan rahasia lagi, hukum dan aksesnya, akan berpihak pada siapa yang “kuat” dan mampu “mendistorsi” hukum itu sendiri, khususnya pada lingkungan penegak hukum. Terlihat dalam berbagai pemberitaan, temuan kasus hukum yang dinilai “janggal/absurb/paradok mendapat penilaian “aksioma” di masyarakat dan akhirnya terbongkar juga akibat riuh dan ramainya “aksi maupun analisa netizen” dalam memberikan penekanan pada dunia media sosial dan informasi yang berkembang masif.

Seakan masyarakat, menemukan “kanal baru” untuk mencari keadilan dan kesetaraan hukum, tanpa ragu lagi mereka memposting kejadian ataupun keberanian untuk bersuara lantang, supaya mendapatkan perhatian, atas tindakan oknum penegak hukum maupun aparatur birokrasi, dalam menjalankan perintah undang-undang yang sedang “dibengkokkan” untuk mencari keuntungan dan kepentingan pribadi/kelompok, sehingga merusak nama institusi, kedinasan maupun kelembagaan negara.

“No Viral No Justice”, seakan menjadi senjata baru, untuk mendapatkan kesetaraan hukum “Equality Before The Law” dimana semua warga negara berhak mendapatkan perlakuan/akses yang sama dihadapan hukum. Netizen seolah menjadi “wave” sebagai gelombang yang memberikan arah perubahan baru dari sebuah tatanan bernegara yang menyimpang dan anomali dari keilmuwan semakin “penceng” jika ditambah nir etika, amoral dan rendahnya kompetensi . Berpolitik, berdemokrasi menjamin hak kebebasan berpendapat setiap warga negara , eksis” dan tidak menjadi kesewenangan untuk mengarah pada negara otoritarianism/pembungkaman berpendapat.

“No Viral No Justice”, seakan masyarakat “lebih pintar dan cerdas” dari pada mereka yang diamanati dalam menjalankan jabatan/kewenangan dengan perilaku lamban, lama, pungli, konspirasi bahkan korup. Seakan “pola-pola primitif” yang dapat membuat bahagia bila dapat menyusahkan publik dan bermewahan dari korupsi. Hukum dapat dikendalikan sesuai pesanan dan mendapat dukungan atasan asalkan ada setoran (penjabhat publik).

Nuansa hukum seiring akan berubah, jika rezim lama yang berganti rezim baru, dapat memberikan “contoh/teladan bak maha guru” karena kata terucap seperti layaknya “Sapto Pandito Ratu”. Perubahan diawali dari Top-Down, bukan dari masyarakat, karena perubahan tatangan-tangan kekuasaan, kewenangan dan aturan berfilosofi tinggi, yang ujungnya berdasar pada “MORALITAS dan ETIKA” pelengkapnya adalah konteks KOMPETENSI.

Era Presiden baru Prabowo, tentunya akan mendapatkan resistensi/hambatan atas perjuangan perubahan masif dari tekanan masyarakat yang ingin berubah, berharap penegakan hukum mempunyai “marwah/ghiro” yang dapat memberikan rasa keadilan di tengah masyarakat. Dunia Informasi dan teknologi, sebagai pendukung “Distrubsi” yang sudah tidak dapat “dinafikkan” bahwa dunia mencapai sisi keterbukaan. Namun para “pemain lama” masuh dengan skema konspirasi jahat, sudah harus mendapatkan konsekwensi jera, bahwa perbuatannya telah “membunuh dan menyusahkan” banyak umat. Semoga saja, presiden baru dapat menciptakan peradaban yang dapat mengangkat derajat dan nila dalam kehidupan berbangsa bernegara kedepannya…

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!