Banyuwangi – Pemberian berbagai penghargaan dan apresiasi kepada pejabat di Kabupaten Banyuwangi dalam beberapa tahun terakhir patut dipertanyakan validitasnya, khususnya dalam konteks akuntabilitas publik dan dampak nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. Apresiasi yang diberikan oleh pihak eksternal tanpa melalui mekanisme verifikasi sosial secara partisipatoris dari masyarakat lokal hanya melanggengkan citra semu yang jauh dari realitas objektif di lapangan. Ketika penghargaan menjadi instrumen politik pencitraan yang tidak berdiri di atas dasar evaluasi partisipatif rakyat, maka yang lahir bukanlah pengakuan, melainkan penyesatan publik dalam bentuk simbolisme birokratis yang kosong makna.
Sungguh ironi ketika prestise diraih dalam ruang ber-AC, namun rakyat masih berkeringat di lorong-lorong pelayanan publik yang lamban dan tidak manusiawi. Proses perizinan bangunan melalui PBG yang tidak optimal, waktu tunggu yang panjang di mal pelayanan publik, serta lemahnya reformasi birokrasi menunjukkan bahwa penghargaan-penghargaan tersebut tidak bersifat transformatif. Justru terjadi degradasi etos pelayanan, di mana warga harus berhadapan dengan sistem yang berbelit-belit, tidak transparan, dan menutup ruang akuntabilitas. Apresiasi seperti ini seolah meludahi penderitaan rakyat, sebab realitas objektif tidak menjadi indikator penilaian.
Lebih jauh, jargon pembangunan yang terus digembar-gemborkan tidak berbanding lurus dengan data objektif mengenai angka kemiskinan, pengangguran, bahkan perceraian yang masih membumbung. Tak ada lompatan signifikan dalam penurunan indikator-indikator sosial tersebut. Hal ini menandakan kegagalan kebijakan struktural dan lemahnya kapasitas kelembagaan daerah. Penghargaan yang seharusnya menjadi hasil dari keberhasilan menyejahterakan rakyat justru diberikan berdasarkan narasi elitis yang dibangun di atas presentasi data yang telah disterilkan dari kritik masyarakat.
Institusi seperti Dinas Sosial, yang seharusnya menjadi garda depan dalam menangani problem sosial rakyat, justru menunjukkan gejala ketidaksensitifan dan kebutaan hati. Mereka tak lebih dari operator birokrasi teknokratis yang tidak memiliki empati terhadap denyut derita masyarakat miskin, disabilitas, lansia, serta kelompok rentan lainnya. Ketika birokrat hanya sibuk mengejar penghargaan, mereka kehilangan roh pelayanan dan tercerabut dari nilai-nilai dasar kemanusiaan serta keadilan sosial.
Oleh karena itu, sudah saatnya sistem penilaian eksternal terhadap para pejabat Banyuwangi dikaji ulang secara radikal. Para pemberi penghargaan harus turun langsung ke masyarakat, mencium bau keringat rakyat, mendengarkan suara-suara yang selama ini dibungkam oleh euforia prestasi semu, dan hidup bersama rakyat dalam keseharian yang penuh ketimpangan. Tanpa itu, setiap penghargaan yang diterima hanya akan menjadi monumen kemunafikan birokrasi yang jauh dari cita-cita pembangunan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Banyuwangi.
Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC
(Akademisi & Aktivis)