banner 728x250

Ketika Mimbar Membisu, Masjid Terbengkalai: Krisis Moral Pemimpin Umat di Banyuwangi”

  • Bagikan
banner 468x60

Banyuwangi – Dalam lanskap sosial-politik Banyuwangi hari ini, kita menyaksikan paradoks menyakitkan: keberadaan para pemimpin umat baik Ulama, Pendeta, maupun Tokoh rohani yang seharusnya menjadi corong moral masyarakat, justru memilih diam dalam kenyamanan. Hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi menjadi cermin yang memalukan bagi mereka: “Sesungguhnya orang yang paling keras azabnya pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak bermanfaat dengan ilmunya.” Ilmu yang seharusnya menerangi justru padam oleh ketakutan, kompromi, atau bahkan pragmatisme kekuasaan. Diamnya mereka dalam melihat ketimpangan, termasuk terbengkalainya Masjid Pemkab Banyuwangi, adalah bentuk nyata pengkhianatan terhadap mandat profetik untuk menyuarakan kebenaran di tengah kebobrokan.

Masjid Pemkab Banyuwangi yang seharusnya menjadi simbol spiritualitas pemerintahan, kini berubah menjadi artefak sunyi dari kegagalan tata kelola dan prioritas publik. Yang lebih menyakitkan bukan hanya soal fisiknya yang terbengkalai, tetapi pembiaran struktural oleh para tokoh agama yang enggan mengangkat suara. Padahal dalam tradisi kenabian, keberpihakan terhadap keadilan dan peneguran terhadap penguasa lalai bukan hanya kewajiban moral, tapi konsekuensi logis dari iman. Ketika pemimpin agama memilih bungkam atas kekeliruan pejabat, mereka bukan sedang menjaga harmoni, melainkan sedang mengamini kebusukan atas nama stabilitas.

Fenomena ini menunjukkan adanya komodifikasi peran agama dalam ruang kekuasaan. Banyak pemimpin rohani yang lebih takut kehilangan akses ke panggung kekuasaan dibanding kehilangan integritas. Mereka lebih sibuk menjaga hubungan baik dengan pejabat daripada menjaga hati nurani umat. Padahal dalam sejarah agama, para nabi tidak pernah disukai oleh rezim zalim. Mereka dikucilkan, dicaci, bahkan dibunuh karena keberanian mereka mengkritik kekuasaan. Lantas, di mana keberanian moral itu sekarang, ketika masjid terbengkalai, rakyat kecewa, dan para pejabat terus menebar citra?

Kondisi ini menimbulkan krisis legitimasi moral di tengah masyarakat. Ketika suara kebenaran dibungkam oleh kompromi, umat kehilangan arah dan rasa percaya terhadap tokoh-tokoh agamanya. Ketika para pemimpin spiritual tidak lagi berani menegur kekuasaan yang zalim, maka agama direduksi menjadi ritus tanpa ruh. Bahkan gereja dan masjid, sebagai simbol kehadiran Tuhan di tengah dunia, kehilangan maknanya ketika mereka hanya menjadi ornamen tanpa suara. Ini bukan hanya soal pembiaran masjid terbengkalai, tapi tentang bangkrutnya kepemimpinan moral.

Oleh karena itu, kritik ini bukan sekadar pernyataan emosional, tetapi seruan akademik dan etik: bahwa para pemimpin umat harus kembali ke akar profetiknya. Diam bukanlah kebajikan ketika berhadapan dengan kezaliman. Bungkam atas nama kerukunan hanyalah selubung dari ketakutan dan kepentingan. Jika para ulama dan pendeta tidak lagi berani bicara atas nama kebenaran, maka mereka akan tercatat dalam sejarah sebagai kolaborator ketidakadilan. Banyuwangi, dan masyarakatnya, membutuhkan suara moral yang murni bukan yang disetir oleh kekuasaan, tapi yang digerakkan oleh hati nurani dan keberanian iman.

Oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.

(Red/Tim Redaksi)

banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!