Banyuwangi – Kegagalan kinerja birokrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak dapat dilepaskan dari akar masalah yang paling mendasar: buruknya penataan sumber daya manusia (SDM) dalam struktur birokrasi itu sendiri. Ketika aparatur sipil negara direkrut, ditempatkan, dan dipromosikan bukan berdasarkan kompetensi, melainkan karena kedekatan politis, loyalitas semu, dan praktik nepotisme, maka wajar jika roda birokrasi berjalan pincang. Kebijakan pengelolaan SDM yang abai terhadap prinsip meritokrasi telah menciptakan birokrasi yang gemuk secara struktur, namun keropos secara fungsi dan kinerja. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi birokrasi.
Kualitas SDM merupakan determinan utama dalam menciptakan birokrasi yang efektif dan responsif. Namun yang terjadi di Banyuwangi adalah sebaliknya: banyak jabatan strategis justru diisi oleh individu-individu yang tidak memiliki kecakapan teknis maupun pengalaman yang memadai. Penempatan SDM yang tidak proporsional ini melahirkan kebijakan yang tidak solutif, program yang tidak terarah, serta pelayanan publik yang cenderung lamban dan tidak adaptif terhadap kebutuhan masyarakat. Aparatur negara seolah menjadi robot administratif tanpa daya cipta, hanya menjalankan tugas rutin tanpa pemahaman mendalam terhadap visi pembangunan daerah.
Lebih tragis lagi, motivasi dan dedikasi ASN di lingkungan Pemkab Banyuwangi tampak kian memudar, tercermin dari rendahnya produktivitas, absensi yang tinggi, serta budaya kerja yang lebih berorientasi pada kepatuhan semu ketimbang pengabdian publik. Lemahnya sistem reward and punishment memperparah situasi ini, di mana pejabat yang bekerja sungguh-sungguh tidak mendapatkan apresiasi, sementara yang malas dan koruptif justru aman karena berada dalam lingkaran kekuasaan yang melindungi. Ini menciptakan atmosfer kerja yang stagnan dan penuh kecurigaan antarsesama pegawai.
Integritas sebagai fondasi moral birokrasi pun semakin langka. Praktek manipulasi data, pungutan liar, hingga penyalahgunaan anggaran menjadi fenomena yang seolah lumrah. Tidak adanya keteladanan dari pimpinan daerah dalam menegakkan nilai-nilai integritas menjadikan birokrasi di Banyuwangi seperti tubuh tanpa kepala bergerak tanpa arah dan mudah disusupi kepentingan pribadi maupun golongan. Alih-alih menjadi motor penggerak pembangunan, birokrasi justru menjadi penghambat utama kemajuan daerah karena kehilangan roh pengabdiannya.
Sudah saatnya dilakukan perombakan total dalam tata kelola SDM birokrasi Banyuwangi, bukan sekadar tambal sulam kosmetik melalui slogan kosong reformasi. Penataan SDM harus berbasis pada integritas, kompetensi, dan profesionalisme, serta didukung oleh sistem seleksi, evaluasi, dan pengawasan yang objektif dan akuntabel. Jika tidak, maka birokrasi Banyuwangi akan terus menjadi sarang ketidakefisienan, ketidakadilan, dan kebobrokan yang sistemik dan rakyatlah yang akan terus menjadi korban dari sebuah sistem yang gagal berubah.
oleh:
Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC.
(Akademisi & Aktivis)
Red/Tim Redaksi